Rabu, 28 Oktober 2009

Pursuit of Happiness


Judul di atas emang gue kutip dari salah satu film-nya Will Smith…bagus sih…drama abis….teary eyes a bit..
Ehm..tapi kenapa ya? gue merasa bahwa ‘meraih kebahagian’, bukanlah konsep yang cocok buat gue.

Gue merasa bahwa pada saat sekarang ini, kita tengah terjebak dalam satu stigma tradisi yang diajarkan oleh orang tua kita dan sekarang telah berkembang menjadi satu siklus yang berkepanjangan, contohnya,
sebagai seorang istri, kita DIAJARKAN untuk membahagiakan suami
sebagai seorang anak kita DIWAJIBKAN untuk membahagiakan orang tua
sebagai orang tua kita DIHARUSKAN untuk membahagiakan anak-anak kita

Well, menurut gue itu semua adalah hal-hal yang sangat baik untuk dilakukan, hanya saja sepertinya tidak terlihat benar di mata gue. Hal yang baik itu kan belum tentu benar? Karena sepertinya mencoba untuk membahagiakan orang lain adalah sesuatu hal yang dia sia dan melelahkan.

Actually, I have found my A-HA moments. Dan the A-HA moments adalah contoh :
• Waktu loe remaja rasanya sebel banget kalo ngeliat ibu2 kucel pake daster trus belanja di warung,… dan once you get married dan merasakan hectic-nya rutinitas di pagi hari yang tidak memungkinkan loe dressed up cuman buat beli gula doang di warung sebelah….and then you said….A-HA!!!!
• Waktu masih pacaran dulu...bete banget ama bokap gue karena galaknya minta ampun dan selalu ngelarang pacaran sampai harus ngumpet-ngumpet segala…..dan setelah gue punya anak perempuan dan ngebayangin kalau suatu saat nanti dia akan pacaran lalu melakukan hal-hal yang dilakukan selayaknya orang pacaran and can’t help myself but to freak out….and then you said...A-HA!!!
It’s not hypocrites,…munafik kayaknya kata yang terlalu keras ya…we just have to be in their shoes to comprehend the reason ….and then you said A-HA!!!

Oke…jadi my A-HA moment of being happy adalah ketika mama passed away several years ago…Life is seems to be too short when you found death in front of you…
Jadi pada saat itu gue mulai untuk meng-evaluasi lagi hidup gue dan gue berfikir bahwa kita memang tidak pernah tahu kapan kita akan mati, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup. Sehingga akhirnya gue mengambil kesimpulan bahwa konsep yang terbaik buat gue adalah “Kita harus berhenti melakukan sesuatu untuk/demi orang lain, dan merubahnya menjadi demi diri kita sendiri. Karena kalau kita merasa bahagia maka orang2 di sekeliling kita akan merasa lebih bahagia”.

It sound selfish ya? But let me rephrase that:
Memutuskan untuk keluar bekerja setelah melahirkan Kayla adalah The Hardest decision ever!!! Masa transisi dari seorang wanita bekerja menjadi full time mom juga bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak bisa dipungkiri bahwa being a mom is the biggest part of me (tercermin dari note2 gue sebelumnya yang selalu menyoroti kehidupan gue sebagai seorang ibu).

Kasus : Gue keluar kerja
Skenario 1 : “ gue melakukan itu semua demi anak gue, karena kesian anak gue kalo harus dititip sana-sini sementara gue-nya kerja….pokoknya gue harus selalu ada di sisi anak gue supaya dia hepi terus deh”
Akhirnya ketika gue keluar kerja :
• Ketika Kayla lagi bandel dan seneng-nya nge bangkang (emang ada masa2nya)
• Ketika gue lagi bête banget ama orang2 di sekeliling rumah gue karena manggil gue Ibu Boy atau mama-nya Kayla (yang mana menandakan bahwa posisi gue disitu ‘hanya’ sebagai istrinya seseorang atau ibu-nya seseorang dan bukan sebagai diri gue sendiri)
• Ketika gue lagi paciweuh ngurus rumah dan anak2 lagi pada kompakan sakit di rumah sementara suami pulang malem terus
Maka gue akan dengan mudahnya menyalahkan semua orang terutama suami dan anak gue dan pada akhirnya mengeluarkan omongan “ gara2 kamu nih mama jadi kayak gini….coba kalo dulu…..”. Dan kayaknya gak adil ya kalau gue menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan pada porsinya ama suami atau anak gue…justru itu baru namanya egois. Dan kalaupun jika pada suatu saat nanti ternyata Kayla jadi orang yang sukses, gue juga akan bertepuk dada dan ber-jumawa lalu bilang…”gara2 mama keluar kerja sih, makanya kamu bisa sukses gini, coba kalau dulu mama tetep kerja, gak akan bisa deh kamu kayak gini”…ehm…double selfish deh

Skenario 2 : “ gue keluar kerja, karena gue merasa gak akan sanggup jika harus secara adil membagi diri gue antara kerjaan dan keluarga. Gue pasti akan selalu merasa terjepit dan dikejar-kejar antara atasan, suami dan anak. Dan akan sangat sulit untuk tidak pilih kasih. Dan yang paling penting-nya lagi, kalo gue tetep bekerja, gue akan selalu merasa bahwa apa pun yang gue lakukan untuk anak gue sepertinya tidak akan pernah bisa cukup untuk menggantikan ketidakberadaan gue di sisi-nya pada saat2 dia butuh gue dan pada akhirnya gue akan merasa bahwa gue bukan ibu yang baik. Dan bukan hidup seperti itu yang gue pengen-in. Jadi gue melakukannya demi diri gue sendiri.” (Note : walaupun perlu gue tekan kan disini lho bahwa gue tidak men-judge para ibu2 yang bekerja….justru gue kagum karena mereka sanggup menjalaninya…sedangkan gue merasa gak sanggup)

Loe perhatiin deh 2 skenario diatas…inti-nya sih sama, gue keluar kerja, tapi cara menyikapi-nya beda kan? Untuk scenario 1, gimana bisa anak gue merasa bahagia kalo gue sendiri tidak merasa bahagia, karena anak itu perasaannya sangat peka, walaupun tidak terucap dia pasti bisa merasakan ketidakbahagiaan gue atas situasi itu. Dan anak adalah peniru yang sangat hebat. The Greatest Copycat!! Jadi secara tidak langsung, dengan tidak merasa bahagia gue sedang mengajarkan anak gue cara untuk tidak merasa bahagia. So, I stopped being a mom and started being a person!! Jadi logika-nya happy mommy, happy children. GAK SELFISH dong?

Satu lagi contoh yang umum adalah, kenapa banyak orang yang gagal untuk berhenti merokok? Kalo menurut gue sih, karena rata-rata mereka melakukannya demi orang lain. Contoh : gue mau brenti ngerokok ah, ‘kesian anak2 gue suka pada batuk kalo nyium asap-nya’, ‘ooh, sekarang kantor kita no smoking area ya?’, ‘bini gue gak mau diajak ciuman kalo gue bau rokok!!’, Kalo diitung-itung ngerokok itu boros juga ya?’. Coba kalau kita mampu untuk mengubah sudut pandang kita dan berkata pada diri sendiri, gue mau brenti ngerokok ah, soalnya gue pengen di usia gue 50 tahun nanti gue masih sanggup ikutan lomba maraton dan berenang di kolam ini 10X putaran. Gak Selfish kan?

Walaupun kadang2 ada sebagian orang yang berpendapat bahwa, kita harus mementingkan kebahagiaan orang lain dibandingkan kebahagiaan kita sendiri. Well, to be honest, pada hakikat-nya sih kita tidak bertanggung jawab akan hal itu, karena apa pun yang kita lakukan, sebaik apa pun kita, sekeras apa pun kita berusaha, kita tidak akan pernah bisa membuat orang lain bahagia karena kebahagiaan itu bukan sesuatu yang bisa diberikan oleh orang lain. Kita hanya bisa bahagia untuk diri kita sendiri.

Sebagai contoh : Kalo loe kasih gue buku Harri Potter gue akan melonjak2 kegirangan dan merasa bahagia, tapi kalo loe ngasihnya ke suami gue, dia pasti akan mengernyitkan keningnya…
Karena, pada dasarnya bukan barangnya yang membuat kita bahagia tapi perasaan kita terhadap sesuatu itulah yang membuat kita merasa bahagia yang pastinya akan sangat subjektif. Jika ada 1 trilyun orang di bumi ini, maka akan ada 1 trilyun ukuran kebahagiaan di dunia ini, karena kebahagiaan itu sifatnya dinamis dan tidak pernah statis.

Of course I’m not talking about ‘the ultimate happiness’ kayak yang di film Disney, ketika Putri Aurora bertemu Prince Charming and they live happily ever after…it only happen in the perfect world, and it’s not a perfect world, and we are not perfect either. But I do believe in happy ending though….di setiap film yang gue tonton gue selalu mengharapkan hepi ending, kalo tidak hepi ending, gue mengharapkan sequel (maksa bo!!)…so Life’s hepi ending (for me), and if it’s not happy, it‘s not the end!!!

So guys!! Be “at the moment”!!! Tanpa disadari kita suka berusaha untuk menyabotase kebahagiaan kita sendiri, contoh : Hah?!! Gimana gue bisa hepi? Cicilan rumah gue masih panjang banget gitu lho!!belon lagi cicilan asuransi anak2 gue!!gue lagi ribet banget ngurus anak-No time for myself, mo pergi keluar susah, bla..bla..bla…Jadi kapan dong hepi-nya? Kalo cicilan udah pada lunas? Kalo anak2 udah pada gede? Kalo gue udah tua? Pasti bakalan ada masalah lain nanti-nya. Yup, udah berhasil gue sabotase tuh!!!

Oke..oke..Loe bisa bilang ke gue “Talk is Cheap”, ngomong mah gampang!!! Iya sih…I’m still in the journey,…gue juga masih meraba-raba sih, tapi mudah2an gue ada di jalur yang benar.

Gue pernah baca di buku “Secret- The law of Attraction” yang isi-nya kalau loe memikirkan sesuatu dan menginginkannya dengan amat sangat, maka menurut hukum ketertarikan, seluruh partikel yang ada di dunia ini akan membantumu untuk mendapatkannya. Jadi teorinya adalah, kalo besok pagi loe ada acara penting dan merasa sangat nervous di malam harinya dan berfikir “takut telat” maka yang akan terjadi di keesokan harinya adalah, loe akan telat bangun, baju lupa belum disetrika, roti buat sarapan diabisin anak loe semalem, motor mogok, susah angkot, macet abis, pas mau bayar angkot gak bawa receh,…pokok-nya telat banget deh,…karena universe menganggap loe “pengen telat” universe tidak mau membaca pikiran negative “tidak telat/takut telat/gak mau telat”. Jadi, loe harus merubah cara berfikir loe, jangan suka mikir “gak punya duit” tapi loe harus mikir “kalo gue punya duit”.
Well, apa salahnya kalau teori itu kita pakai. Loe harus mikir “gue bahagia” maka niscaya the whole universe will help you to get it, because you deserve it. You are what you think you are kan?

Mungkin akan banyak yang gak setuju dengan pemikiran gue kali ya, yang tentu saja sangat wajar, karena kita tidak dididik dan dibesarkan dengan pemikiran seperti itu. And sometimes I can be so complicated and twisted…he..he..

Tapi gak apa-apalah…karena keseragaman itu membosankan dan perbedaan akan selalu memberikan nuansa. Iya kan?

So, all I can say is…..BE HAPPY everyone!!!!

1 komentar:

  1. "karena keseragaman itu membosankan dan perbedaan akan selalu memberikan nuansa". Suka sekali ma kalimat ini..... =)

    BalasHapus